Sinopsis :
Gemerincing
suara lonceng terdengar saat seorang laki-laki paru baya melewati pintu masuk,
dia menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan pemilik kedai teh yang baru
dimasukinya. Pandangannya terhenti ketika seorang wanita tua berkacamata hitam
menyapanya.
“Selamat
datang di kedai teh tuan” sambutnya sambil mendekat ke arah laki-laki tersebut
yang berdiri diam mematung. Laki-laki paruh baya dengan tas selempangnya tetap
menatap wanita tua itu dengan seksama, matanya bergerak menelisik setiap inci
dari bawah kaki hingga ujung rambut yang telah memutih seiring dengan usianya.
Sampai
mereka berhadapan dengan mata yang saling menatap membuat laki-laki itu
terperanjat dan segera sadar dari lamunannya. “Maaf nek saya mampir karena
penasaran”
“Kedai
ini menyediakan beberapa macam teh, jika tuan berkenan memesan
dipersilahkan”tawar nenek tersebut sambil menunjuk tempat duduk yang berada di
dekat jendela.
“Boleh
nek, saya pesan teh apa saja yang enak”
“Baik
tuan”
Laki-laki
tersebut duduk di tempat yang diarahkan pemilik kedai tadi, dengan raut wajah
penasaran dia mulai mengedarkan pandangannya hingga terpesona dengan deretan
foto yang terpajang di dinding kayu. Beranjak dari tempat duduk dan mendekati
satu-persatu foto tersebut pandangannya sampai pada foto terakhir, dia sedikit
bingung keheranan.
“Tehnya
sudah siap tuan” pemilik kedai mengagetkan pelanggannya untuk yang
keduakalinya. Melihat wanita tua tersebut sudah menyajikan teko dan satu
cangkir di atas meja, segera dia menghampirinya dan menanyakan perihal foto
yang terpajang.
“Nek
berarti kedai ini sudah lama ada, tapi kenapa saya baru meliatnya hari ini”
“Bukan
berarti sesuatu yang tak terlihat itu tidak ada” wanita tersebut tersenyum
misterius menambah kebingungan laki-laki parubaya itu.
“Begini
sebentar nek bukan hanya itu, deretan foto yang saya lihat tadi menampakkan
perkembangan kedai ini sejak tahun 80an sampai 2020 ini. Anehnya tidak ada
perubahan di wajah nenek tidak muda dan tidak menua sama saja seperti saat
ini”setelah penjelasan panjangnya dia menatap wanita tua itu dan berkedip
beberapa kali. “Ahaha apa yang aku pikirkan, mungkin ini efek dari banyak
pikiran maaf nek”
Wanita
tersebut hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum mendengar pernyataan
pelanggannya, dia pergi dan duduk di seberang tak jauh dari laki-laki paru baya
itu. Hingga keheningan mulai menyerang kedai tersebut bagaimana tidak sepi,
hanya ada dua orang didalamnya. Pemilik kedai yang fokus dengan buku hijau yang
dia baca dan pelanggan yang menunggu teh dinggin karena kepulan asap masih
terlihat keluar dari cangkir.
Tak
sabar menunggu laki-laki itu mengangkat cangkirnya meniup teh tersebut supaya
lekas dingin, siap akan meneguk teh yang sudah mendekat ke arah mulutnya akan
tetapi tangannya terhenti karena pernyataan pemilik kedai.
“Tuan
pasti pekerja kontruksi di dekat sini” Pernyataan tersebut membuat laki-laki
itu kaget dan mengurungkan niatnya untuk meminum teh yang sedari tadi telah
ditunggu.
“Ahaha
apa yang nenek maksud, oh ternyata ini teh hijau melihat warna airnya hijau
muda dan pucat cenderung bening. Saya tau karena almarhum ibu saya dulu pecinta
teh, dia juga ingin membuka usaha kedai teh seperti nenek” usahanya mengalihkan
topik pebicaraan membuahkan hasil.
“Iya
itu teh hijau tuan, selain kandungan vitamin E sebagai aktioksidan teh hijau
juga memiliki kandungan vitain C yang dapat meredakan stress, melihat tuan
sepertinya banyak pikiran mangkanya saya pilih untuk menyajikan ini”
“A..
jadi seperti itu, terimakasih nek”dia tersenyum dengan tatapan cemas taku-takut
wanita tersebut membicarakan status pekerjaannya lagi. Namun keinginannya pupus
sebab pemilik kedai menyingungnya.
“Jika
orang tidak memperhatikan tuan dengan seksama, mungkin mereka akan mengira tuan
pekerja kantoran”dia berbicara tanpa memalingkan tatapannya dari buku yang
dibaca.
“Bagaimana
nenek bisa menyimpulkan saya pekerja konstruksi ?”
“Ada
pasir berserakan di lantai yang ternyata itu dari sepatu tuan dan bekas serbuk
semen yang ada di celana tuan, jadi saya berpikir anda pekerja konstruksi”
“Ahaha
nenek lucu, bagaimana bisa menyimpulkan hanya dengan hal tersebut”tawanya
terdengar meremekan.
“Tidak
hanya itu, kulit tuan menghitam karena bekerja di bawah terik matahari sementara
jika tuan memang benar pekerja kantor mungkin tetap putih seperti warna asli
telapak tangan tuan”
Mendengar
pernyataan tersebut laki-laki itu langsung menatap dan membolak-balikkan
tangannya yang memiliki kontras warna sangat berbeda. Sesaat sia menghela nafas
berat lalu menatap teh hijau yang sudah mendingin tanpa kepulan asap. Fakta
tersebut memang benar dan dia memilih menerima kenyataan.
“Apa
yang nenek katakan benar” setelah berucap laki-laki itu tertunduk lesu, dia
meraih cangkir yang sedari tadi ada didekatnya dan menyeruput genangan teh
hijau itu.
“Setelah
ini tuan akan berbicara jujur”
Setelah
menyeruput teh hijau, laki-laki tersebut mengeryitkan dahinya dan memandang
kedalam cangkir. Sesekali dia mencium aroma teh tersebut sambil menyeruputnya
sedikit demi sedikit hingga hanya tersisa sedikit teh yang ada. Puas meminumnya
dia meletakkan cangkir, menghela nafas dan menerawang ke arah jendela.
“Seberapa
banyak ide kreatif yang saya punya pasti tidak akan diterima”sambil tersenyum
miris laki-laki tersebut menatap pantulan dirinya di kaca.
“Lalu
seberapa keras anda sudah berusaha tuan ?”
“Dulu
ketika berumur 20 tahunan, saya pernah bekerja di salah satu stasiun televisi
sebagai tim kreatif sebuah acara. Tiga tahun lamanya berada di sana ide saya
selalu terabaikan dan tidak pernah diterima itulah alasan saya berhenti dari
profesi tersebut”
“Ide
kreatif itu memang banyak orang yang memilikinya tuan namun banyak juga orang
diluar sana mengabaikannya tanpa merealisasikannya sebab yang namanya usaha
memang mahal”
“Berbicara
usaha nek saya sudah melakukannya”timpal laki-laki itu.
“Ada
beberapa hal menjadi kekurangan anda tuan, terburu-buru dan cepat menyerah”
Lelaki
itu mengisi ulang cangkirnya dengan teh hijau, lalu meminumnya lagi. Setelah
menjauhkan cangkir dari bibirnya dia berkaca di dalam genangan teh. Terdiam
sesaat mulai bergumam kecil “Terburu-buru”
ucapnya, lalu meletakkan cangkir di atas meja.
“Benar
memang terburu-buru, saya menginginkan bonus yang di janjikan oleh produser
acara tersebut tapi tak kunjung mendapatkanya. Akhirnya saya mencari pekerjaan
dengan gaji yang lebih besar tapi nihil tidak pernah diterima, sampai sekarang
berakhir menjadi kuli harian”
“Tidak
ada yang instan tuan, bahkan dunia berprose dalam pembentukannya”
“Yang
saya lakukan ini untuk istri supaya dia puas. Memang tak hanya menipu orang
yang melihat, saya juga sudah menjadi penipu ulung keluarga”dibalik
perkataannya itu terdapat nada penyesalan yang terdengar.
“Jadi
anda sudah berbohong tuan ?”
“Yah,
benar bebohong, demi menyetarakan kedudukan sosial dengan istri saya”
“Tuan
pasti tau persis bukan bahwa untuk menutup kebohongan pasti dengan kebohongan
yang lain”
“Nenek
benar, satu kebohongan melahirkan kebohongan yang lainnya. Saat ini saya pasrah
dan sadar namun belum siap jujur kepada keluarga”perkataan penyesalannya
membuat mata laki-laki itu berkaca-kaca namun dia masih kuat menahan tangisnya.
“Sepintar
apapun kamu mennyimpan kebohongan, suatu saat pasti akan terbongkar”ucap nenek
tersebut dengan tatapan matanya terarah pada tas selempang laki-laki tersebut
yang berada di atas meja. Menyadari hal ini lelaki tersebut sedikit memegang
erat tasnya dengan cemas.
“I
i iya nek”ucapannya sedikit gagap.
“Semakin
cepat, semakin lebih baik tuan, menunda hanya mempermarah keadaan”
“Baik
nek, o iya harga teh ini berapa nek ?”
“Sepertinya
anda memang orang yang teburu-buru tuan, tas yang anda kenakan terbuka mungkin
sudah dari tempat kerja tadi. Ternyata dugaan saya benar sekilas tadi saya
melihat kain berwarna orange di dalamnya, bukankah jelas itu rompi yang tuan
kenakan ketika bekerja”
“Wah..
di usia nenek saat ini ternyata masih jeli juga”ucapnya sambil sambil bertenpuk
tangan dan mulut yang berdcak kagum bercampur heran.”O iya jadi berapa semua
nek ?”
“Gratis
untuk tuan”mantab menjawab, wanita tersebut mulai mecatat sesuatu di buku hijau
yang dibacanya tadi.
“Jangan
begitu nek, saya tidak suka berutang atau sebagai gantinya kita barter saja
nek. Bagaimana kalau dengan bolpen ini ? saya lihat nenek menulis dengan pensil
tua yang sudah usang itu”
“Baiklah
saya terima” pemilik kedai mengiyakan dan menerima bolpen yang diberikan
“Terimakasih
nek sudah mendengarkan cerita saya ditambah tempat ini menampung rahasia saya”
“Tolong
terima ini tuan”pemilik menyodorkan sebuah daun yang diambilnya dari dalam buku
hijaunya.
“Daun,
bukankah ini daun semanggi empat ?”
“Benar
tuan, dan jika tuan menyadari sesuatu bisa segera menuju tempat ini”
_Bersambung_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar