Sinopsis :
Mesin
ketik antik yang bertengger di atas dipan kayu diperlakukan dengan kasih sayang
layaknya seorang anak oleh tuannya. Pemilik kedai dengan kain di tangan yang
menyapu debu koleksi barang antik di
kedai tehnya. Hal tersebut sudah menjadi kegiatan biasa bagi pemilik kedai
sebab jarang ada pelanggan yang datang, lebih tepatnya orang tertentu saja yang
bisa datang.
Brak!
Suara
pintu tertutup dengan keras hingga mengalahkan lonceng yang menempel sampai tidak
terdengar, yang membuat terkejut pemilik kedai adalah sosok gadis remaja SMA
dengan seragam sekolahnya bersebunyi dabalik tembok sambil mengintip lewat
pintu kaca yang dia lewati tadi. Dengan nafas yang tersenggal-senggal dan
menghantamkan badannya ke tembok sedikit kesal, gadis tersebut terlihat sedang menghindar
dari seseorang.
Sampai
pemilik kedai menghampirinya”Ada apa nona ?”
Gadis
itu kaget dengan kehadiran pemilik kedai, sambil memegang dadanya yang
kembang-kempis karena lari dan tergesa-gesa. Dia membetulkan nafas untuk
memulai berbicara. “Maaf nek saya masuk sembarangan”
“Tidak
papa nona, sepertinya nona kelelahan. Di sini kedai teh jika berkenan untuk
memesan saya akan persiapkan” tawaran nenek tersebut disambut hangat oleh gadis
remaja itu mengiyakan dengan cara mengangukkan kepalanya”boleh nek, sediakan
teh apapun yang enak”
“Silahkan
nona cari tempat duduk yang nyaman”
Gadis
tersebut mengarah ke tempat duduk di pojokan kedai yang sedikit tertutup,
langkahnya terhenti karena sebuah lukisan telah mencuri pehatianya. Dia
mendekat matanya takjub oleh sebuah karya yang mungkin bagi sebagian orang
terlihat ngeri sebab sosok-sosok muka bertopeng dalam kanvas. Tangannya mulai
meraba karya goresan sang seniman, hingga pemilik kedai datang menghentikan
tatapan takjubnya.
“Nona
menyukai lukisan ?”
“Iya
nek, apalagi karya sang pelukis kerbau”mengiyakan dengan tangan menunjuk
lukisan tersebut.
Keduanya
beranjak menjauh dari lukisan itu, hingga tiba di pojok ruangan pemilik kedai
meletakkan cangkir teh”Ini nona teh melati atau bisa disebut juga dengan
molicha, teh ini populer di daerh Cina bagian utara”
Gadis
SMA berambut panjang hitam legam itu hanya menganggukkan kepala mendengar
pernyataan pemilik kedai, namun dia lebih penasaran dengan lukisan yang
terpajang di kedai tersebut. “Nek ada yang ingin aku tanyakan, bisa kan temani
saya di sini”pintanya sambil melirik lukisan yang tadi dilihatnya.
“Boleh
saja nona”
“Nek,
kenapa lukisan itu bisa ada disini bukankah itu jenis lukisan yang sulit di
dapat”suaranya terdengar antusias.
“Maksud
nona lukisan karya Affandi itu, tentu saja dengan membelinya”
“Nenek
membeli lukisan yang harganya selangit itu wah..”decakan kagum tak henti-henti
terlontar dari bibir tipis miliknya.
“Saya
lihat nona bukan hanya pengagum lukisan tetapi juga seorang pelukis”
Gadis
remaja tersebut dengan tatapan herannya bertanya”Bagaimana nenek bisa tau ?”
“Awalnya
saya mengira cat yang berada di kuku nona adalah kutek, akan tetapi dilihat
lagi seperti cat untuk melukis”
“Nenek jeli sekali, aku bukan pelukis nek
lebih tepatnya sedang belajar. Untuk pemula sepertiku belum bisa dikatakan
sebagai pelukis, seorang seniman Affandi walupun sudah terkenal menyebut
dirinya sebagai seniman kerbau dalam artian dia merendahkan diri. Ia sering
mengatakan bahwa ia lebih pantas disebut sebagai tukang gambar”
“Semoga
kelak nona bisa menghasilkan karya keren seperti lukisan Affandi topeng-topeng
kehidupan yang terkenal di tahun 1960an itu”
“Semoga
saja”gadis tersebut berharap sambil menatap teh yang ada di depannya, dia mulai
meraih cangkir tersebut dan menghirup aroma harum melati lalu meminumnya dengan
perlahan.
“O
iya apa yang membuat nona tadi tergesa-gesa?”
“A..
tadi itu saya sembunyi dari orang tua, saya merasa beruntung masuk ke dalam
kedai ini setidaknya hari ini tidak ke tempat neraka itu”
“Tempat
apa di dunia ini yang membuat nona seperti berada di neraka ?”
“Tempat
les matematika”terdengar nada kepahitan dalam ucapan gadis SMA itu.
“Bagaimana
bisa nona sampai menggabarkannya seperti neraka ?”
“Ya
walaupun belajar di ruang ber AC tetap saja dinginnya tidak tembus ke otak,
hanya menatap angka-angka rumit yang membuat kepala mendidih. Argh..
membayangkannya saja membuat jengah”setelah mengeluh gadis tersebut meminum teh
yang tersisa terdiam sebentar dan melanjutkan ceritanya”Saya juga ingin pintar
seperti kakak saya. Membuat orang tua bangga dengan bakat yang dimiliki sungguh
kepintarannya membuat saya iri”
“Bukankah
nona juga memiliki bakat dan itu sudah nyata ada di dalam diri nona, melukis
benar bukan ?”
“Itu
benar nek tapi bakat itu tidak diakui oleh orang tua saya, bakat seperti kakak
sayalah yang diinginkan mereka. Hal itulah yang membuat saya merasa tidak punya
apa-apa”
“Seharusnya
nona bersyukur dengan kelebihan nona, bahkan dengan sepatu yang nona kenakan”
“Perihal
itu saya sudah sering mendengarnya nek, bersyukur dengan seragam sekolahmu, tas
mu dan sepatumu karena banyak orang disana ingin mendapatkan kesempatan itu”selepas
ia berbicara tertunduk menghela nafas berat seakan-akan perkataan semacam itu
sering didengarnya.
“Bukan
hanya itu, sepatu yang nona kenakan patut disyukuri karena di luar sana ada orang
tidak memiliki kaki”
Deg!
Pernyataan tersebut membuat gadis SMA itu mengangkat kepalanya, seketika dia
tertunduk kembali”Orang tua saya menuntut saya untuk menjadi bintang seperti
kakak, sementara saya tidak mampu sesekali rasa iri juga hadir ingin bakat itu
rasanya saya curi”
“Setiap
orang memiliki waktu kesempatan untuk bersinar tersendiri nona, seperti bintang
dan bulan di malam hari dan matahari di siang hari. Bakat yang nona punya bisa
jadi adalah bakat impian orang diluaran sana yang tidak mampu malakukannya”
Gadis
tersebut tersenyum hangat mendengar perkataan pemilik kedai”Nenek benar, dan
saya merasa bersyukur bisa kesini menceritakan keluh kesah dimana tidak ada
orang lain yang mendengar”ucapnya sembari melihat sekitar kedai yang sepi.
“Menjadi
kelemahan manusia iri dan serakah karena ketidakmampuannya menghalau bisikan
setan, sama seperti lukisan topeng-topeng kehidupan tadi”ucap pemilik kedai
tersebut.
“Nenek
benar, satu objek potret diri di tengah yang dikelilingi oleh topeng-topeng sebagai
perwujudan bisikan jahat merepresentasikan manusia dikelilingi oleh godaan
sehingga bisa saja menutupi hati dari kebenaran. Wah.. ternyata nenek juga
paham karya seni”senyuman lebar kembali terukir di wajah cantik gadis itu
seketika matanya menatap pemilik kedai dengan tatapan tak asing”Nenek
sepertinya mirip dengan almarhumah nenek saya”
“Benarkah
?”
“Iya
nek, dan terimakasih juga sudah mendengar cerita saya”
“Sama-sama
nona, o iya nona tunggu disini sebentar”pemilik kedai berdiri dan pergi ke meja
respsionis membuka buku hijau favoritnya lalu menuliskan sesuatu. Selepas itu
ia kembali mendekat membawa sesuatu dan meletakkannya di atas meja. Satu
tangkai daun hijau dengan empat kelopak daun terlihat manis bertengger diatas
meja kayu. “Daun ini untuk nona?”
“Bukankah
ini daun semanggi nek ?”
“Iya
benar nona”
“Untuk
apa daun ini nek ?”tanya gadis trsebut sambil mengambil daun semanggi itu.
“Jika
nona menyadari suatu hal, nona bisa kembali ke tempat ini”
_Bersambung_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar