Memandang Kehidupan Melalui Permainan Poker dalam Buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat (Mark Manson) - Pesan Sebuah Karya

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Kamis, 23 Februari 2023

Memandang Kehidupan Melalui Permainan Poker dalam Buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat (Mark Manson)



Poker suatu permainan yang kerap kali lekat dengan label “perjudian” tapi tidak bisa dipungkiri juga permainan kartu tersebut biasa dimainkan untuk penghiburan semata tanpa adanya unsur taruhan. Daerah saya pribadi contohnya, mulai dari kalangan tua dan muda menjadikan permainan ini sebagai bentuk penghiburan  di malam hari dengan tetangga. Tak jarang juga setiap anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar memiliki satu pack kartu poker di dalam tas mereka untuk dimainkan pada jam istirahat. Kondisi tersebut mendapat larangan dari beberapa guru di sekolah namun ada yang membiarkannya.

Lebih lucu lagi ketika permainan itu dilarang tapi para bocah tetap memainkannya secara diam-diam termasuk saya sendiri. Entah karena kebiasaan lingkungan rumah, pernah saat SMA tangan saya terasa gatal untuk ikut andil bermain saat senior berkumpul saling melempar kartu yang di pegang. Alhasil ikutlah saya dengan mereka bermain poker yang menghatarkan saya dengan julukan “ratu poker”pada masanya. Julukan tersebut cukup menggelikan namun pada nyatanya setiap ronde permainan sering tak pernah kalah bahkan saat memegang kartu jelek sekalipun.

Beberapa teman mulai penasaran ingin bermain dengan saya setelah meladeni rasa keingintahuan mereka tetap saja dalam sebuah ronde hampir tak pernah kalah. Bahkan ada salah seorang teman yang nyeletuk dengan nada tertawa seandainya perlombaan poker itu ada di event KTS (Kegiatan Tengah Semester) mereka sangat yakin mendelegasikan saya sebagai perwakilan kelas. Hal itu membuat pikiran ini tertawa geli, prestasi macam apa ini haha. Namun, fakta setiap capaian keberhasilan  dalam permainan satu ini saya yakini hanya sebagai keberuntungan. Yup benar, keberuntungan adalah kata yang selalu dilontarkan kepada mereka atas pertanyaan “Apa yang membuatmu bisa menghindari kekalahan ?”.

Bertahun-tahun saya yakini faktor keberuntungan adalah jawaban atas kemenangan dalam permainan satu ini. Akan tetapi, sesekali juga berpikir apakah benar keberuntungan saja sebab saat memegang kartu jelek pun terkadang masih tetap luput dari kekalahan. Meski beberapa waktu kelimpungan dengan pertanyaan itu sebuah buku berhasil memberikan jawaban atas apa yang saya pikirkan. Mark Manson dengan judul buku “Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” tak hanya memberikan saya jawaban namun mengilhami tulisan ini untuk mengurai kembali pendapat dalam bukunya.

Halaman 127 pada bagian atas kalimat dalam buku membuka pikiran saya untuk bernostalgia kemballi akan cerita di atas. Pikiran tersebut di dasari dengan pernyataan Mark yang menjelaskan bahwa dirinya di masa-masa kuliahnya pernah memiliki fantasi menjadi seorang pemain poker profesional. Lalu setiap lanjutan kalimat saya baca dengan seksama hinga suatu hal menarik diparagraf selanjutnya tetap membuat pandangan tak teralihakan dari baris tulisan. Mark berpendapat keindahan permainan poker bahwa sekalipun bersandar kepada keberuntungan hal itu tidak menentukan hasil akhir permainan. Bisa saja seorang pemain yang memiliki kartu buruk  mengalahkan pemain yang memiliki kartu bagus. Memang memegang kartu terbaik akan memberikan peluang kemenangan yang besar tapi tetap saja penentu menang atau kalah yaitu dikarenakan setiap pilihan dari sang pemegang kartu selama permainan berlangsung.

Dalam buku Mark mengutarakan memaknai kehidupan sama halnya dengan konsep permainan poker di atas. Lalu dia menyimpulkan bahwa permainan sebenarnya terletak pada pilihan dan resiko yang kita ambil, hingga konsekuensi yang kita jalani. Pemain yang secara konsisten memberikan pilihan terbaik adalah orang yang memenangkan permaianan dan bahkan tidak harus memiliki kartu terbaik. Konsep tersebut yang akan di bahas lebih lagi di bawah ini.

Hidup adalah sebuah pilihan kalimat yang tak asing di dengar dan sangat realistis. Memang pada kenyataannya kita selalu dihadapkan oleh kondisi dimana diharuskan untuk memilih. Jika berbicara mengenai ini, sangat teringat pernah menganggap bahwa pilihan untuk menempuh pendidikan di kampus saya saat ini adalah sebuah kesalahan. Mengapa demikian sebab ada beberapa hal yang cukup sulit untuk ditangani. Lalu apakah saya tetap menganggap pilihan itu sebagai kesalahan, dengan ini saya memandang keadaan yang  kurang nyaman adalah resiko atas apa yang menjadi pilihan saya.  Selepas sadar akan hal itu, bukan bergulat dengan salah atau tidak tapi lebih kepada bagaimana harus bertanggung jawab atas apa yang telah di pilih.

Mark juga menuturkan dalam bukunya bahwa acap kali kita semua memang senang untuk bertanggung jawab atas keberhasilan dan kebahagiaan. Akan tetapi, esensi bertanggung jawab atas permasalahan kita jauh lebih penting, sebab dari sanalah pembelajaran sesungguhnya berasal. Menyalahkan orang lain akan melukai diri sendiri. Begitupula dengan kewarasan saya yang kembali tak kala sadar bahwa menyalahkan keadaan  hanya akan menyiksa diri sendiri.

Perihal tentang sebuah pilihan juga mengingatkan saya terhadap perkataan dosen yang menyampaikan sebuah teori dari seorang peneliti bernama Kolhberg dengan memberikan sebuah penggambaran kondisi untuk mengukur tingkat moralitas seseorang. Teori tersebut bernama “Dilema Heinz”  saya pribadi juga pernah membingkai teori ini dalam bentuk cerita pendek berjudul Kedai Teh Kehidupan akan tetapi saat ini mari kita fokus akan konsep pilihan.

Kolhberg memberikan sebuah cerita terdapat seorang perempuan yang di diaknosis penyakit berat oleh seorang dokter. Dokter tersebut menyarankan suatu obat yang menurut dirinya bisa menyelamatkan perempuan yang sedang sakit. Diketahui obat tersebut baru saja ditemukan oleh seorang apoteker selain itu pembuatannya mengeluarkan biaya yang mahal. Sang apoteker pun menjualnya dengan harga lebih mahal dari proses pembuatannya.

Di sisi lain sang suami (Heinz) dari wanita yang sakit berusaha untuk mendapatkan pinjaman uang dari orang yang di kenal, tapi ia hanya memperoleh setengah dari harga obat seharusnya. Ia pun menceritakan kondisi istrinya yang sedang sekarat kepada sang apoteker dan memohon supaya sang apoteker untuk menjual obat lebih murah atau memperbolehkan dirinya membeli setengah harga dan melunasinya di kemudian hari. Akan tetapi, sang apoteker tidak menyetujui ide dari Heinz tersebut dan menolak untuk menjualnya dengan separuh harga. Heinz menjadi putus asa akan keadaan. Dari cerita ini lowrance Kolhberg mengajukan sebuah pertanyaan untuk mengukur tingkat moralitas seseorang yaitu:

Haruskah suami tersebut membongkar apotek untuk mencuri obat untuk istrinya ?

Heinz dihadapi oleh kenyataan hidup yang sungguh ironis, namun kembali lagi pilihan tetap harus diambil. Dilema yang dialami Heinz sendiri memang tidak mudah atau mungkin sebagian dari kita pernah tersudutkan oleh suatu keadaan yang sangat sulit untuk memilih. Problem dan sempitnya waktu atau keadaan yang menyudutkan itulah bisa membuat orang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Pada akhirnya hal tersebut bisa membuat kita kurang tepat dalam memilih. Apapun yang menjadi pilihan Heinz beresiko. Pertama jika Heinz tidak mencuri maka ia harus siap menelan kepahitan akan kehilangan istrinya. Akan tetapi, opsi kedua jika ia mencuri obat kemungkinan hidup istrinya lebih besar dan akibat dari tindakannya tersebut ia bisa dipenjara, harga diri jatuh, keluarga merasa malu.

Pada ending cerita di atas keputusan yang Heinz ambil adalah : Heinz menjadi putus asa dan mencuri obat dari apoteker demi istrinya menjadi sebuah pilihan yang ia ambil. Sungguh sangat ganjil dengan kata “putus asa” yang dipakai dalam sebuah cerita. Kata tersebut mengindikasikan sebuah hal yang tidak maksimal, berhenti bertindak, berhenti memperjuangkan dalam menemukan celah terbaik, bahkan patah semangat. Tindakan yang dipilihanya merupakan sebuah kekurangan atas dirinya dalam melihat celah atau dari permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu sebuah pilihan biasa dianggap tepat diukur dari kebijakan dan nilai diri yang tepat pula.

Salam halnya dengan pendapat Mark di atas bertanggung jawab akan permasalahan lebih memberikan pembelajaran nilai lebih. Dengan kondisi Heinz tersebut sebenarnya ia dituntut untuk mencari pilihan bijak atas ketersudutannya dalam sebuah keadaan. Karena esensi dari cerita penelitian di atas dalam rangka edukasi  memanusiakan diri untuk memilih sebaik dan sebijak mungkin. Dan memposisikan diri dengan nilai yang tepat.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar