Poker suatu permainan yang kerap
kali lekat dengan label “perjudian” tapi tidak bisa dipungkiri juga permainan
kartu tersebut biasa dimainkan untuk penghiburan semata tanpa adanya unsur
taruhan. Daerah saya pribadi contohnya, mulai dari kalangan tua dan muda
menjadikan permainan ini sebagai bentuk penghiburan di malam hari dengan tetangga. Tak jarang
juga setiap anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar memiliki satu pack
kartu poker di dalam tas mereka untuk dimainkan pada jam istirahat. Kondisi
tersebut mendapat larangan dari beberapa guru di sekolah namun ada yang
membiarkannya.
Lebih lucu lagi ketika permainan
itu dilarang tapi para bocah tetap memainkannya secara diam-diam termasuk saya
sendiri. Entah karena kebiasaan lingkungan rumah, pernah saat SMA tangan saya
terasa gatal untuk ikut andil bermain saat senior berkumpul saling melempar
kartu yang di pegang. Alhasil ikutlah saya dengan mereka bermain poker yang
menghatarkan saya dengan julukan “ratu poker”pada masanya. Julukan tersebut
cukup menggelikan namun pada nyatanya setiap ronde permainan sering tak pernah
kalah bahkan saat memegang kartu jelek sekalipun.
Beberapa teman mulai penasaran
ingin bermain dengan saya setelah meladeni rasa keingintahuan mereka tetap saja
dalam sebuah ronde hampir tak pernah kalah. Bahkan ada salah seorang teman yang
nyeletuk dengan nada tertawa seandainya perlombaan poker itu ada di event KTS
(Kegiatan Tengah Semester) mereka sangat yakin mendelegasikan saya sebagai
perwakilan kelas. Hal itu membuat pikiran ini tertawa geli, prestasi macam apa
ini haha. Namun, fakta setiap capaian keberhasilan dalam permainan satu ini saya yakini hanya
sebagai keberuntungan. Yup benar, keberuntungan adalah kata yang selalu dilontarkan
kepada mereka atas pertanyaan “Apa yang membuatmu bisa menghindari kekalahan ?”.
Bertahun-tahun saya yakini faktor
keberuntungan adalah jawaban atas kemenangan dalam permainan satu ini. Akan
tetapi, sesekali juga berpikir apakah benar keberuntungan saja sebab saat
memegang kartu jelek pun terkadang masih tetap luput dari kekalahan. Meski
beberapa waktu kelimpungan dengan pertanyaan itu sebuah buku berhasil
memberikan jawaban atas apa yang saya pikirkan. Mark Manson dengan judul buku
“Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” tak hanya memberikan saya jawaban namun
mengilhami tulisan ini untuk mengurai kembali pendapat dalam bukunya.
Halaman 127 pada bagian atas
kalimat dalam buku membuka pikiran saya untuk bernostalgia kemballi akan cerita
di atas. Pikiran tersebut di dasari dengan pernyataan Mark yang menjelaskan
bahwa dirinya di masa-masa kuliahnya pernah memiliki fantasi menjadi seorang
pemain poker profesional. Lalu setiap lanjutan kalimat saya baca dengan seksama
hinga suatu hal menarik diparagraf selanjutnya tetap membuat pandangan tak
teralihakan dari baris tulisan. Mark berpendapat keindahan permainan poker
bahwa sekalipun bersandar kepada keberuntungan hal itu tidak menentukan hasil
akhir permainan. Bisa saja seorang pemain yang memiliki kartu buruk mengalahkan pemain yang memiliki kartu bagus.
Memang memegang kartu terbaik akan memberikan peluang kemenangan yang besar
tapi tetap saja penentu menang atau kalah yaitu dikarenakan setiap pilihan dari sang pemegang kartu selama
permainan berlangsung.
Dalam buku Mark mengutarakan
memaknai kehidupan sama halnya dengan konsep permainan poker di atas. Lalu dia
menyimpulkan bahwa permainan sebenarnya terletak pada pilihan dan resiko yang
kita ambil, hingga konsekuensi yang kita jalani. Pemain yang secara konsisten
memberikan pilihan terbaik adalah orang yang memenangkan permaianan dan bahkan
tidak harus memiliki kartu terbaik. Konsep tersebut yang akan di bahas lebih
lagi di bawah ini.
Hidup adalah sebuah pilihan kalimat
yang tak asing di dengar dan sangat realistis. Memang pada kenyataannya kita
selalu dihadapkan oleh kondisi dimana diharuskan untuk memilih. Jika berbicara
mengenai ini, sangat teringat pernah menganggap bahwa pilihan untuk menempuh
pendidikan di kampus saya saat ini adalah sebuah kesalahan. Mengapa demikian
sebab ada beberapa hal yang cukup sulit untuk ditangani. Lalu apakah saya tetap
menganggap pilihan itu sebagai kesalahan, dengan ini saya memandang keadaan
yang kurang nyaman adalah resiko atas
apa yang menjadi pilihan saya. Selepas
sadar akan hal itu, bukan bergulat dengan salah atau tidak tapi lebih kepada
bagaimana harus bertanggung jawab atas apa yang telah di pilih.
Mark juga menuturkan dalam
bukunya bahwa acap kali kita semua memang senang untuk bertanggung jawab atas
keberhasilan dan kebahagiaan. Akan tetapi, esensi bertanggung jawab atas
permasalahan kita jauh lebih penting, sebab dari sanalah pembelajaran sesungguhnya
berasal. Menyalahkan orang lain akan melukai diri sendiri. Begitupula dengan
kewarasan saya yang kembali tak kala sadar bahwa menyalahkan keadaan hanya akan menyiksa diri sendiri.
Perihal tentang sebuah pilihan
juga mengingatkan saya terhadap perkataan dosen yang menyampaikan sebuah teori
dari seorang peneliti bernama Kolhberg dengan memberikan sebuah penggambaran
kondisi untuk mengukur tingkat moralitas seseorang. Teori tersebut bernama
“Dilema Heinz” saya pribadi juga pernah
membingkai teori ini dalam bentuk cerita pendek berjudul Kedai Teh Kehidupan akan tetapi saat ini mari kita fokus akan
konsep pilihan.
Kolhberg memberikan sebuah cerita
terdapat seorang perempuan yang di diaknosis penyakit berat oleh seorang
dokter. Dokter tersebut menyarankan suatu obat yang menurut dirinya bisa
menyelamatkan perempuan yang sedang sakit. Diketahui obat tersebut baru saja
ditemukan oleh seorang apoteker selain itu pembuatannya mengeluarkan biaya yang
mahal. Sang apoteker pun menjualnya dengan harga lebih mahal dari proses
pembuatannya.
Di sisi lain sang suami (Heinz)
dari wanita yang sakit berusaha untuk mendapatkan pinjaman uang dari orang yang
di kenal, tapi ia hanya memperoleh setengah dari harga obat seharusnya. Ia pun
menceritakan kondisi istrinya yang sedang sekarat kepada sang apoteker dan
memohon supaya sang apoteker untuk menjual obat lebih murah atau memperbolehkan
dirinya membeli setengah harga dan melunasinya di kemudian hari. Akan tetapi,
sang apoteker tidak menyetujui ide dari Heinz tersebut dan menolak untuk
menjualnya dengan separuh harga. Heinz menjadi putus asa akan keadaan. Dari
cerita ini lowrance Kolhberg mengajukan sebuah pertanyaan untuk mengukur
tingkat moralitas seseorang yaitu:
Haruskah suami tersebut
membongkar apotek untuk mencuri obat untuk istrinya ?
Heinz dihadapi oleh kenyataan
hidup yang sungguh ironis, namun kembali lagi pilihan tetap harus diambil.
Dilema yang dialami Heinz sendiri memang tidak mudah atau mungkin sebagian dari
kita pernah tersudutkan oleh suatu keadaan yang sangat sulit untuk memilih.
Problem dan sempitnya waktu atau keadaan yang menyudutkan itulah bisa membuat
orang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Pada akhirnya hal tersebut bisa
membuat kita kurang tepat dalam memilih. Apapun yang menjadi pilihan Heinz
beresiko. Pertama jika Heinz tidak mencuri maka ia harus siap menelan kepahitan
akan kehilangan istrinya. Akan tetapi, opsi kedua jika ia mencuri obat
kemungkinan hidup istrinya lebih besar dan akibat dari tindakannya tersebut ia
bisa dipenjara, harga diri jatuh, keluarga merasa malu.
Pada ending cerita di atas
keputusan yang Heinz ambil adalah : Heinz menjadi putus asa dan mencuri obat
dari apoteker demi istrinya menjadi sebuah pilihan yang ia ambil. Sungguh
sangat ganjil dengan kata “putus asa” yang dipakai dalam sebuah cerita. Kata
tersebut mengindikasikan sebuah hal yang tidak maksimal, berhenti bertindak,
berhenti memperjuangkan dalam menemukan celah terbaik, bahkan patah semangat.
Tindakan yang dipilihanya merupakan sebuah kekurangan atas dirinya dalam
melihat celah atau dari permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu sebuah
pilihan biasa dianggap tepat diukur dari kebijakan dan nilai diri yang tepat
pula.
Salam halnya dengan pendapat Mark
di atas bertanggung jawab akan permasalahan lebih memberikan pembelajaran nilai
lebih. Dengan kondisi Heinz tersebut sebenarnya ia dituntut untuk mencari
pilihan bijak atas ketersudutannya dalam sebuah keadaan. Karena esensi dari
cerita penelitian di atas dalam rangka edukasi
memanusiakan diri untuk memilih sebaik dan sebijak mungkin. Dan
memposisikan diri dengan nilai yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar