Setelah sukses dengan
sekuel pertamanya kini Harry Bradbeer kembali menyajikan serial detektif Enola
Holmes 2 yang siap untuk memulai petualangan misteri dalam menemukan seseorang.
Memang dalam film ini tidak memberikan kasus besar seperti pembunuhan melainkan
lebih kepada pemecahan misteri kehilangan seseorang, yang dimana pada sekuel
pertama Enola memecahkan misteri atas kehilangan ibunya. Tak jauh berbeda dengan
film pertamanya Enola (Millie Bobby Brown) kini memulai lembaran baru dengan menangani
kasus kehilangan yang dilaporkan oleh gadis kecil bernama Bess.
Selain daripada petualangan
menarik dalam menemukan seseorang sekuel detektif satu ini menjadi unik dengan
melibatkan seoorang wanita berani dan cerdas yang menjadi tokoh utama sekaligus
berperan sebagai detektif. Jika pada film detektif lain menampilkan sosok
laki-laki cerdas, proyek film Enola Holmes memang sengaja disajikan untuk
khalayak umum seolah-olah ingin manampilkan sajian berbeda berbau peran gender
perempuan dalam dunia genre kriminal crime. Hal ini cukup berhasil memberikan
warna baru dari film detektif, dan fakta lain karakter fiktif Enola sebenarnya
hasil sebuah karangan dari penulis Amerika Nancy Springer dengan buku
pertamanya berjudul “Kisah Misteri Enola Holmes : Kasus Menghilangnya Sang
Marquess” terbit pertama kali pada tahun 2006.
Fakta menarik di atas bisa menjadi
sebuah rangkaian ulasan menarik terkait permainan gender yang dibawa dalam alur
cerita film. Beberapa scene bahkan secara gamblang menggambarkan bagaimana
wanita di perlakukan berbeda. Berikut ini merupakan hal-hal menarik di dalam
film yang menyoal tentang isu peran gender.
Besetting
Tempat di Inggris
Film ini bersetting
tempat di inggris dengan mengambil latar
belakang tahun 80-an. Bukti film ini bersetting di inggris dengan era
tahun 80-an adalah penyebutan era victoria di menit pertama. Serta narasi bahwa
sang tokoh Enola yanng menginginkan untuk menjadi bagian detektif hebat di
tahun 1827 pada masa tersebut. Namun hal menarik di tampilkan pada narasi
berikutnya yang dimana eksistensi pekerjaan detektif dengan kisah kehebatan
mereka di dominasi oleh laki-laki tak terkecuali kakaknya Enola yaitu Sherlock
Holmes. Hal itu membuat Enola terobsesi menjadi setara dengan mereka. Pemilihan
kata setara dalam narasi Enola inilah yang menunjukkan keinginan posisi
perempuan sama di mata publik tanpa ada ketimpangan dan pembedaan dengan
kemampuan mereka.
Selain
daripada penjelasan di atas, setting tersebut bisa dibuktikan dengan tampilan
berpakaian wanita Inggris yang banyak menggunakan gaun panjang berongga dengan
beberapa aksen pita dan memiliki beberapa renda. Dilansir dari
harpersbazaar.co.id tampilan busana semacam tersebut seringkali di pakai pada
era crinoline. Istilah fashion crinoline di ambil dari bahasa Prancis yang
berarti kerangka bagian dalam rok yang terbuat dari loop metal. Keadaan rok
yang berongga dan cukup ringan memberikan ruang gerak kaki bagi wanita
pemakainya.
Namun
dari penggambaran setting tersebut tokoh Enola di dalam film cukup memberikan
sikap yang tidak seperti wanita pada umumnya di tahun atau era 80-an. Jika
sebagai wanita dituntut memiliki sikap lemah lembut menampilkan keindahan dan
perawakan yang menarik, Enola di dalam filmnya justru memiliki perangai yang
berbeda. Sosok tegas, pintar dan pemberani ditampilkan dalam diri Enola dengan
penggambaran untuk mendobrak pelabelan terhadap wanita di jaman itu.
Potret
Wanita dalam Film
Penggambaran wanita di
dalam film ini berada di pihak nomer dua atau terpinggirkan. Terlihat dari
bagaimana Enola mulai pesimis akan dirinya setelah membuka agensi detektif
tidak ada orang yang ingin meminta jasanya dalam menangani sebuah kasus. Banyak
orang yang lebih memilih kakaknya Sherlock Holmes untuk menyelesaikan sebuah
kasus daripada Enola dikarenakan kemampuan dia diragukan sebagai detektif
perempuan. Selain penggambaran eksestensi melalui sosok Enola, dalam film juga
menampilkan kondisi perempuan yang cukup sesuai dengan realita.
Salah satu contoh
kondisi nyata perempuan Ingrris yang tergambar di dalam film adalah banyaknya
buruh pabrik yang hampir semua pekerjanya adalah wanita. Bahkan banyak diantara
mereka yang bekerja masih muda,contohnya satu tokoh di dalam film bernama Bess
yang masih berusia sekitar 12 tahun menjadi salah satu buruh pabrik korek api.
Karakter ini lah yang meminta bantuan Enola untuk menemukan kakaknya yang
bernama Sarah.
Di dunia nyata
banyaknya buruh pabrik ini memang benar adanya salah satunya pabrik korek api Bryant and May di Bow terkenal
memiliki sitem kerja yang buruk dan di dominasi oleh pekerja wanita. Pekerjaan
wanita dan anak perempuan di pabrik ini bertugas untuk mengemas korek api ke
dalam kotak. Dari penyajian kisah ini kondisi sosial wanita di masa itu secara
pekerjaan masih dipinggirkan. Terdapat ketimpangan antara pekerjaan perempuan
dan laki-laki yang digambarkan dalam film tak hanya buruh bahkan dalam beberapa
scene perempuan di bingkai dalam sebuah bentuk penghiburan dalam sebuah
panggung teater.
Karakter
Sarah Chapman
Sama seperti beberapa
penjelasan di atas kemunculan Sarah berasal dari adik perempuan yang bekerja
bersamanya di dalam pabrik meminta bantuan Enola untuk mencarinya. Dari sinilah
petualangan pencarian Enola atas gadis bernama Sarah yang sebenarnya sedang
mempersiapkan sesuatu hal yang besar yaitu melaporkan indikasi sistem buru yang
ada di dalam pabrik. Cukup sepenggal
kisah di dalam film kini mari berkenalan dengan sosok Sarah di dunia nyata.
Dalam kisah nyata Sarah
Chapman merupakan karyawan lama di pabrik Bryant and May, ia pun cukup
memperoleh penghasilan dari pekerjaan tersebut. Perempuan berkelahiran 1862 ini
menjadi pelopor utama pemogokan kerja pada serikat Inggris di pabrik tempat dia bekerja. Bukan
tanpa alasan hal tersebut dilakukan ada beberapa faktor yang menjadi pendorong
pemogokan massal mulai dari sistem yang buruk, upah yang sangat minim hingga
isu kandungan fosfor yang menjadi penyebab banyak kematian karyawan pabrik.
Salah satu faktor yang
disajikan dalam film adalah terkait permasalah kandungan fosfor di dalam pabrik
yang menyebabkan banyaknya karyawan mengalami tifus hingga kematian. Kondisi
ini diduga disebabkan oleh sistem pekerjaan dimana buruh dituntut untuk
berkerja selama berjam-jam sambil menghirup uap beracun yang berasal dari
fosfor putih korek api. Bagi para kaum wanita yang terjangkit penyakit ini memiliki
gejala berupa berubahan bentuk wajah yang disebut sebagai rahang Phossy dan
mengeluarkan bau tak sedap hingga kerusakan di bagian rahang.
Kata yang sangat iconic
di dalam film adalah “Hanya Butuh Satu Bara Untuk Menyulut Api” hal ini
menggambarkan sosok keberanian Sarah dalam memperjuangkan hak-hak nya sebagai seorang
buruh wanita. Aksinya ini merupakan aksi industri pertama yang dilakukan dan
untuk wanita. Dilansir dari nationalgeographic.grid.id sebenarnya pengusaha yang
takut kehilangan bisnisnya mengambil langkah menyerahkan kertas perjanjian
kepada buruh. Mereka diminta utnuk menandatangani surat pernyataan bahwa
bekerja dalam kodisi terbaik dengan upah yang tidak pernah dipotong dan di
tunda. Namun hal itu tidak ditanggapi baik, para buruh wanita menolak dan 1.000
pekerja membanjiri jalan-jalan London untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Secara keseluruhan film
ini berhasil memberikan nuansa baru dari genre kriminal crime mulai dari cerita
yang tidak biasa hingga menyisipkan peristiwa nyata berbau sejarah. Isu gender
yang ada mengundang para penikmat film ikut berspekulasi dan mengulas setiap
kejadian sebenarnya. Namun penggunaan permaian gender terhadap perempuan di
abad ini cukup membuat sebagian orang merasa abai sebab beda jaman beda kasus.
Dari sudut pandang penulis film ini bisa dijadikan sebagai bahan untuk
pengetahuan dan penyampaian informasi tehadap peristiwa sejarah saja. Akan
tetapi penyajian peristiwa dalam film dan beberapa scene adegan sangat terkesan
mengkampanyekan pergerakan feminis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar